Aku terlahir di sebuah keluarga yang sederhana, karena itulah aku begitu mencintai keluargaku...
Aku terlahir di sebuah kota yang sederhana, karena itulah aku begitu menikmati setiap sudut kotaku...
Aku besar di lingkungan yang sederhana, karena itulah aku belajar untuk hidup sederhana...
Dan aku ingin tetap mempunyai gaya hidup yang sederhana apapun yang akan terjadi...
****
Aku bersyukur sejak kecil aku diajari dan belajar untuk hidup sederhana, bahkan terkadang hidup prihatin. Beberapa kali keluargaku memanjakanku dengan nikmatnya hidup, namun dalam banyak hal keluargaku mengajariku untuk hidup sewajarnya.
Aku masih ingat dengan uang saku per hari yang aku terima pada waktu SD yang nilai nominalnya meningkat seiring aku naik kelas. Waktu kelas 1 SD aku mendapat uang saku 100 rupiah, kelas 2 SD mendapat 200 rupiah, kelas 3 SD mendapat 300 rupiah dan kelas 4 SD mendapat 400 rupiah (+ uang makan siang karena mulai kelas 4 cawu ke 2 jam pelajaranku di sekolah dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore). kelas 5 SD aku mendapat kenaikan uang saku yang cukup besar, menjadi seribu sehari, itu karena inflasi besar-besaran tahun 1998.
Masih ingat juga pada waktu SD sedang booming-boomingnya permainan Nintendo dan Sega (belum ada PS waktu itu hehe). Di saat teman-temanku yang lain sudah memilikinya, aku belum juga dibeli-belikan meski sudah meminta. Sebenarnya mereka mampu membelikan mainan senilai 100 ribu itu (cukup mahal di jaman itu), aku tahu itu, tapi janji orangtuaku, kalau aku dapat rangking baru aku dibelikan. Akhirnya aku belajar sekuat tenaga, namun aku tak kunjung mendapat rangking (karena begitu banyaknya orang pintar di kelasku waktu itu). Aku pikir, ya sudahlah, aku cukup main ke rumah temanku saja. Namun di saat yang tidak diduga, di suatu sore saat papaku pulang kantor, dia membawakan mainan itu untukku, senang sekali rasanya waktu itu.
Kota yang aku tinggali juga mengajarkan kesederhanaan itu. Di setiap sudutnya mempunyai makna tersendiri bagiku. Melihat semangat seorang tukang becak mengayuh becaknya membawa penumpang, melihat mbok-mbok menjajakan makanan dengan mengendarai sepeda tua (hampir tiap hari aku membeli pecel yang dia jajakan), melihat senyum seorang pemulung ketika mengais sampah, memandang pak tani yang menahan teriknya sinar mentari bekerja di sawah (termasuk melihat alm. kakekku yang seorang pensiunan guru dan menjadi petani), melihat seorang pemuda yang menjual koran (waktu SMP tiap hari aku mampir ke kiosnya, selain membantu menjaga kiosnya juga bisa baca koran & majalah gratis sepuasnya hehe...), juga ketika melihat seorang bapak dengan sepeda motor butut tahun 80'an mengantar anaknya ke sekolah. Rasanya hal-hal seperti itu yang lebih menarik hatiku dan aku kadang tak bisa mengalihkan pandangan mataku ke mereka, mengalahkan gemerlapnya dunia waktu itu, mengalahkan makanan cepat saji yang iklannya membanjir di televisi, dan mengalahkan PS yang booming di waktu SMP (aku lebih memilih mampir ke kios koran daripada main PS bareng teman-temanku).
Dan akhirnya sang waktu membawaku ke titik sekarang ini. Titik yang lebih berat daripada waktu yang lalu, yang membuatku semakin takut. Salah satu ketakutanku, cara pandangku mengenai kehidupan dan kesederhanaan berubah. ketika segala sesuatunya sepertinya bisa aku miliki (agak berlebihan sih hehe, maksudnya ketika aku sudah punya penghasilan sendiri...) dan akhirnya aku menggantungkan hidupku kepada tanggal 1-waktu gajian, bukan lagi kepada Tuhan.
Tadi waktu KTB, PKKku yang di Solo mendoakanku demikian: Semoga Hendrawan tetap menggantungkan hidupnya kepada Allah... Padahal sebelumnya aku sharing kalau baru dapat rapelan. Akhirnya jadi berpikir, jangan-jangan karena baru dapat rapelan aku sedang tidak menggantungkan hidupku kepada Tuhan sekarang? Jadi ingat ketika masa-masa SMA dahulu, aku belajar untuk bergantung kepada Allah, akhirnya aku memutuskan untuk membayar sendiri buku-buku yang aku beli tanpa memberitahu orangtuaku, mulai menabunglah aku dari uang saku harianku, hingga tiba saat untuk melunasi pembayaran buku-buku tersebut uangku masih kurang 30 ribu. Bingung aku waktu itu, sampai ketika aku sedang di RP Perkantas (Rumah Persekutuan-kalau di jakarta seperti Pintu Air), seorang staf memberikan aku amplop, dia bilang itu titipan dari seseorang buatku, dan isinya? Uang sebesar 30 ribu! Dan itu semakin membuatku beriman kepada Dia. Di kemudian hari aku tahu siapa sebenarnya yang memberi.
Pada masa-masa kuliah dahulu, ketika kiriman orangtua belum datang, uang di rekening sudah tidak bisa diambil lagi, aku berdoa sambil menangis kepada Tuhan agar ada sesuatu yang terjadi sehingga aku bisa beli makan siang, dan akhirnya aku waktu itu mengumpulkan recehan uang yg tercecer di tas dan di atas lemari. Cukup untuk membeli makan siangku!
Sejujurnya, waktu uang rapelan kemarin keluar, aku belum ada niat buat ngapa-ngapain uang itu. masih terngiang-ngiang di pikiranku perkataan seseorang, apa yang kita miliki jangan dianggap itu milik kita. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak beli apa-apa-barang yang mewah (setidaknya mengharapkan dapat bunga bank hehe). Siapa tahu ada keperluan tiba-tiba yang lebih jadi prioritas.
Seorang pegawai di kantorku memberikan nasehat kepadaku, jangan sampai gaya hidup berubah ketika sudah menerima penghasilan, apalagi berlipat-lipat dari yang selama ini diterima, jangan akhirnya foya-foya, "tertipu" diskon dan sebagainya, dan akhirnya segalanya menjadi baru.
Prinsip dalam membeli barang, apakah itu suatu kebutuhan (benar-benar akan terpakai) atau hanya keinginan (hanya akan terpakai sementara), masihkah berlaku? Atau hanya berlaku waktu kuliah saja?
Untuk apa rajin?
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan kasih komentar di form di bawah ini ya.... Terima kasih :)