#

Berharga yang Menjadi Tidak Berharga?

Seperti biasa hari ini aku bersama-sama dengan teman-teman magang dan beberapa pegawai di kantorku masih lembur untuk merekam SPT yang masih menumpuk di lemari. Dari jam 7.30 sampai jam 20.00 kami berada di depan layar komputer mengerjakan pekerjaan kami (meskipun ga di depan layar terus sih, kadang kami jalan-jalan biar ga cape' duduk hehe...).

Akhirnya waktu menunjukkan pukul 19.45 dan kamipun bersiap-siap untuk pulang. Aku yang sudah lelah memandangi layar LCD 17' pun segera berkemas-kemas :) Namun tiba-tiba hujan turun dengan amat deras di saat aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar dan akhirnya pupuslah harapanku untuk segera pulang dan membaringkan badan ini di peraduan.

Akhirnya setelah menunggu lebih kurang setengah jam meredalah hujan yang membasahi pusat kota Semarang, dan akhirnya aku dengan teman seperjalananku (maklum aku nebeng) segera melangkahkan kaki menuju sepeda motor (teman aku) berada.

Dengan hati gembira dan perut kosong kami segera memulai perjalanan kami dan segalanya masih terlihat baik-baik saja, sampai ketika setelah 7 menit perjalanan tiba-tiba kami merasakan setetes-dua tetes air turun dari langit dan semakin lama semakin banyak air yang turun.

Dengan petimbangan saya membawa laptop, akhirnya kami menepi untuk memakai mantel yang telah kami bawa masing-masing (meskipun nebeng tapi modal mantel juga saya). Tas laptop yang tadinya aku pakai di punggung, aku pindah ke depan menempel di dadaku. Kemudian baru aku memakai mantel untuk melindungi tubuhku dan juga laptop tersebut. Namun yang terus terlintas di dalam pikiranku waktu itu adalah bagaimana agar laptop benar-benar terlindungi dan tidak terkena setetes airpun.

Kemudian berlanjutlah perjalanan kami menembus derasnya hujan yang turun dan air yang meluap ke jalanan sampai sekitar 30 cm. Selama dalam perjalanan aku sedikit membungkukkan badanku ke depan berusaha melindungi laptop yang kudekap erat-erat. Sesekali aku liat ke arah laptop, apakah ada air yang yang menyelinap masuk melalui sela-sela mantel yang kupakai dan memastikan segalanya aman. Tanpa sadar aku tidak memerhatikan diriku sendiri, celananku basah karena terkena cipratan-cipratan air dari kendaraan yang melaju dari arah berlawanan.

Akhirnya sampailah aku di rumah dengan diantar temanku tadi tentunya. Ah, ternyata gerbang digembok dan aku harus membuka sendiri gemboknya, dan aku baru ingat bahwa kuncinya aku taruh di saku pakaianku. Satu-satunya cara untuk mengambilnya tentu saja harus membuka bagian atas mantelku terlebih dahulu, dan resikonya air hujan dapat langsung jatuh di tas laptop. Dengan perlahan aku membuka mantelku dan merogoh kunci di saku sambil tetap memastikan laptop tidak terkena air setitikpun.

Dan akhirnya aku berhasil masuk rumah dan segera menuju ke kamarku untuk memeriksa apakah tas laptopnya basah. Dan memang sedikit basah aku lihat di bagian atas dari tasnya. Segera aku cek dalamnya dan ternyata semuanya baik-baik saja. Semuanya yang ada di dalam tas tersebut masih kering.

Akhirnya aku mendapatkan sesuatu dari kejadian ini. Aku berpikir apa sih yang menyebabkan diriku mati-matian berjuang (lebay mode:on) menjaga laptop itu agar tidak basah? Aku sampai kepada suatu kesimpulan: karena menurutku laptop itu berharga, jangan sampai terkena air dan kemudian rusak. Belum tentu aku bisa mengganti laptop tersebut dengan yang baru. Terbayangkan juga data di dalamnya yang akan hilang dan mungkin itu adalah data penting.

Di dalam kehidupan kita, sadar atu tidak sadar pasti kita juga mempunyai sesuatu yang berharga, dan lebih berharga dari laptop tercanggih merk apapun.

Mungkin itu adalah teman atau sahabat kita, yang selalu menjadi tempat curhat kita, tempat dimana kita mengadu ketika merasakan beban yang berat, tempat yang kita harapkan mampu memberikan solusi untuk setiap masalah yang kita alami.

Mungkin itu adalah pacar kita, yang selalu menemani hari-hari kita, setia mengantar kemanapun kita pergi (terutama bagi yang punya motor hehe...), menjadi tempat untuk berbagi sukacita, orang yang (selalu) mengatakan "aku sayang padamu".

Mungkin itu PKK/AKK kita, orang-orang yang selama beberapa tahun mau berbagi hidup dengan kita baik suka maupun duka, mampu memberikan semangat/ motivasi di saat kita jatuh termasuk dalam hal rohani, yang selalu mengirimi sms penguatan dan yang rutin mengingatkan.

Mungkin itu keluarga kita, orang tua yang merawat kita sejak lahir, yang rela tidak tidur ketika kita menangis dan sakit, yang mau berhutang untuk membiayai sekolah kita, tetap tersenyum di depan kita meski menanggung beban yang berat, dan saudara-saudara kita yang mau mengurangi jatah lauknya untuk kita makan, atau orang yang berbagi tempat tidur dengan kita, yang ikut memarahi kita ketika kita nakal, atau membuat jengkel kita dengan kemanjaannya.

Pernahkah kita berpikir bahwa mereka berharga? Pernahkah kita dengan hangat memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih?

Namun di atas semuanya itu, ada yang sebenarnya lebih jauh berharga, yaitu iman kita. Tidak semua orang memperoleh anugerah untuk percaya kepada Allah, namun seberapa kita menganggapnya sangat berharga?

Banyak ditemui orang menjual "iman"nya demi memperoleh harta/ kekayaan, orang menanggalkan "iman"nya demi meraih tahta/ kekuasaan, orang menggadaikan "iman"nya demi mengejar wanita/ pria. Itu baru yang terekspos, berapa banyak yang tidak ketahuan? Berapa banyak yang mampu menyembunyikannya sampai akhir hayat mereka? Namun sehebat apapun manusia menyembunyikan sesuatu, tetaplah Allah yang Maha Tahu telah mengetahuinya, jadi siapakah yang dapat bersembunyi? Tak ada satupun. Kata iman di atas aku beri tanda kutip karena terlintas dalam pikiranku sebuah pertanyaan: benarkah orang-orang yang melakukan hal di atas benar-benar beriman? Jangan-jangan mereka memang tidak punya iman (sekalipun mereka Kristen sejak kecil, berasal dari keluarga yang bertradisi Kristen dsb) sehingga bisa dengan mudahnya tergoda oleh sampah (kotoran) dunia.

Apalah arti hidup bersenang-senang selama berpuluh-puluh tahun kemudian akan mengalami penderitaan kekal? Karena itu:

Matius 6:19-20
6:19 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.
6:20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.

Yakobus 2:5
Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?

Apakah yang paling berharga bagiku, bagimu, bagi kita? Seberapa besar usaha kita menjaga iman kita agar tidak rusak (melalui HPDT, Persekutuan, KTB, KKP, KJ dsb)? Jangan sampai iman kita telah rusak seiring godaan dunia yang terus datang silih berganti.

"Untuk menjaga barang yang kita miliki, terkadang kita memerlukan biaya, untuk menjaga iman yang kita miliki, yang kita perlukan adalah kesetiaan."

Akhirnya menitikkan air mata juga....
*Antara 16/06/2009 22.20 sampai 17/06/2009 00.42*

Salam hangat,

Hendrawan Triartanto

7 komentar:

iyus 17 Juni 2009 pukul 22.39  

ndra...nice!!!
..
..
jadi smakin ingin menulis juga..sdang sangat menikmati yang namany a n u g e r a h...
..
bikin la ndra..hhee

Hendrawan Triartanto 17 Juni 2009 pukul 23.36  

kw lah yg gantian nulis yus, kan udah ada bakat hehe....

iyus 18 Juni 2009 pukul 22.42  

someday la..*hihihh

Hendrawan Triartanto 19 Juni 2009 pukul 10.13  

ayo yus...tunjukkan....haha.....

Anonim 24 Juni 2009 pukul 12.56  

tertegur..

Unknown 24 Juni 2009 pukul 12.58  

yang Anonim tu aq..:D abisnya gaptek..mau kasi komen aja binun..:D

Hendrawan Triartanto 24 Juni 2009 pukul 17.40  

hehe...ma kasih ya udah mampir..smoga bisa jd berkat :)

Posting Komentar

Silakan kasih komentar di form di bawah ini ya.... Terima kasih :)

Selayang Pandang - Sejauh Hati Ini Memandang

Menatap sebuah harapan, menanti sebuah jawaban.

About this blog

Sebuah coretan sederhana penuh arti berisi warna-warni kehidupan yang takkan pernah habis dan pudar...

17 Juni 2009
Salam hangat,

Hendrawan Triartanto
-Pemimpin Redaksi-