#

Aku Ingin Mencintai Dengan Sederhana ~Bagian Tiga: Perpisahan~

Hari ini adalah hari terakhir liburanku di Solo, dan nanti sore aku akan terbang kembali menuju Manokwari. Aku putuskan pagi ini untuk mengelilingi Solo, Kota budaya yang akan segera membuatku kembali rindu untuk mengunjunginya.

Kulihat seorang pria renta yang sedang susah payah mengayuh becak yang membawa empat penumpang anak-anak SD, aku teringat akan masa-masa masih duduk di bangku SD yang mirip dengan hal ini, setiap hari pulang naik becak bersama dengan lima orang temanku, kami harus saling memangku agar satu becak itu bisa kami naiki, rasanya asik sekali saat itu. Sambil becak berjalan kami tertawa, membahas apa yang terjadi di sekolah tadi, membahas film apa yang akan kami tonton pada sore hari, atau membicarakan mengenai game yang sedang tren saat itu.


Kemudian aku melihat seorang ibu yang masih muda menjajakan gorengan dengan sepeda tuanya, kulihat bangunan-bangunan tua ciri khas Jawa dengan ornamen-ornamennya, kemudian kereta uap satu-satunya yang masih dipakai di dunia sedang membelah keramaian kota Solo, dan hal-hal ini pasti yang akan kurindukan.

“Darimana aja Nak?” Tanya mamaku ketika aku kembali ke rumah.

“Habis keliling Solo sambil cari oleh-oleh Ma.” Jawabku.

“Udah siap semua barang-barangnya? Jangan sampai ada yang ketinggalan lho, satu jam lagi kita berangkat ke bandara.”

“Iya, udah.”


---


Dan kini aku berada di bandara yang sama ketika pertama kali berangkat ke Papua dahulu, dengan situasi yang sama, dan dengan diantar kedua orang tua. Aku sadar bahwa tempat seperti bandara ini melambangkan sebuah rasa haru. Haru karena senang karena disinilah tempat pertemuan bagi orang menjemput dan dijemput setelah tidak bertemu sekian lama, dan haru karena sedih karena disini jugalah tempat perpisahan bagi orang yang mengantar dan diantar.

Aku melihat bagaimana seorang ibu memeluk dan mencium anaknya sebelum anaknya check in sambil menangis, mungkin mereka akan berpisah dalam waktu lama, dan aku sadar beberapa menit lagi aku juga akan mengalami peristiwa yang sama, akan berpisah dengan keluargaku, dan esok pagi aku sudah terpisah jarak ribuan kilometer dengan mereka.

Dan hal itu benar-benar terjadi, orangtuaku memeluk dan menciumku, dan di saat-saat seperti itu aku sangat sadar bahwa aku menyayangi kedua orangtua dan saudaraku. Entah kenapa waktu dulu aku masih tinggal di Solo, setiap hari ketemu dengan mereka, rasanya biasa-biasa saja, bahkan sering membuat mereka kesal.

Dan kini aku telah di ruang tunggu keberangkatan sendirian, dan aku tahu orangtuaku kini berada di semacam Ruang Pandang, ruangan di lantai dua bandara dimana mereka dapat melihat pesawatku take off. Masih sekitar dua puluh menit lagi pesawat akan take off, dan aku akan meninggalkan kenangan-kenangan disini, meninggalkan keluarga, meninggalkan teman, meninggalkan hangatnya Solo, dan juga meninggalkan Niva, seseorang yang baru kukenal beberapa hari ini.


Kemanapun angin berhembus menuntun langkahku

Memahat takdir hidupku disini

Masih tertinggal wangi yg sempat engkau titipkan

Mengharumi kisah hidupku ini

Meski ‘ku terbang jauh melintasi sang waktu

Kemanapun angin berhembus ‘ku pasti akan kembali

Kulukiskan indah wajahmu di hamparan awan

Biar tak jemu kupandangi selalu

Kubiarkan semua cintamu membius jiwaku

Yang memaksaku merindukan dirimu

Meski langit memikatku dgn sejuta senyum

Aku takkan tergoyahkan aku pasti akan kembali

Meski ‘ku terbang jauh melintasi sang waktu

Kemanapun angin berhembus ‘ku pasti akan kembali

Meski langit memikat dengan sejuta senyum

Kemanapun angin berhembus ‘ku pasti akan kembali

(Kemanapun Angin Berhembus – Padi)




_cerbung yang to be continued_



nb:sebuah cerita fiktif belaka, kesamaan tokoh, tempat dan waktu hanya sekedar disengajakan hahahaha

Salam hangat,

Hendrawan Triartanto

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan kasih komentar di form di bawah ini ya.... Terima kasih :)

Selayang Pandang - Sejauh Hati Ini Memandang

Menatap sebuah harapan, menanti sebuah jawaban.

About this blog

Sebuah coretan sederhana penuh arti berisi warna-warni kehidupan yang takkan pernah habis dan pudar...

17 Juni 2009
Salam hangat,

Hendrawan Triartanto
-Pemimpin Redaksi-